Batik Ecoprint Ramah Lingkungan

:


Oleh MC KAB SLEMAN, Selasa, 14 Mei 2019 | 17:02 WIB - Redaktur: Noor Yanto - 4K


Sleman, InfoPublik - Meningkatnya kesadaran masyarakat menjaga kelestarian alam menjadikan tren gaya hidup ramah lingkungan semakin digemari dan merambah luas ke berbagai sektor usaha. Tidak terkecuali dengan tren adi busana khususnya batik. Akhir-akhir ini berkembang batik ecoprint, yakni batik kontemporer yang menambah khasanah batik etnik di samping batik tulis dan batik cap.

Sesuai namanya ecoprint dari kata eco asal kata ekosistem (alam) dan print yang artinya mencetak, batik ini dibuat dengan cara mencetak dengan bahan-bahan yang terdapat di alam sekitar sebagai kain, pewarna, maupun pembuat pola motif. Bahan yang digunakan berupa dedaunan, bunga, batang bahkan ranting. Tidak seperti batik tulis atau cap yang pada tahap tertentu menggunakan bahan kimia, ecoprint menggunakan unsur-unsur alami tanpa bahan sintetis atau kimia. Karena itulah batik ini sangat ramah lingkungan dan tidak menimbulkan pencemaran air, tanah atau udara.

Tren gaya hidup ramah lingkungan inilah yang mendasari  Alvira Oktaviani menekuni dan mengembangkan batik Ecoprint dengan branding Semilir Ecoprint Artisan. Elvira mengolah bahan alami menjadi kerajinan seperti tas, kain, syal, baju, kemeja, tempat tissue, dompet, dan sejenisnya.

Elvira yang memulai usaha sejak 2017 menjelaskan bahwa yang pertama dilakukan dalam membuat batik ecoprint adalah memilih kain serat alami bisa dari tumbuhan atau kulit hewan.

“Serat alami dipilih karena mampu menyerap warna dengan baik. Serat alami kelompok selulosa misalnya katun, linen, goni, kulit kayu, sedangkan, kelompok protein misalnya sutera, wol maupun kulit binatang,” papar Elvira saat ditemui di rumahnya di Perumahan Griya Asri Pratama, Desa Donoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Senin (13/05/2019).

Elvira yang menghiasi lingkungan rumahnya dengan berbagai macam tumbuhan pewarna ecoprint ini melanjutkan penjelasannya mengenai dedaunan yang bisa dipakai sebagai pola motif atau pewarna adalah daun jati, klengkeng merah, daun lanang, jarak kepyar, teruju, miyono, daun jambu biji, kesumba, jinitri.

Langkah pembuatan ecoprint diawali dengan pengolahan kain atau mordanting yaitu perendaman kain menggunakan air tawas selama tiga hari. Sisa air tawas tidak dibuang begitu saja tetapi bisa dimanfaatkan untuk membersihkan kamar mandi.

“Proses mordanting ini untuk mempertahankan warna bahan atau kain dan membuka pori-pori agar motif tercetak dengan sempurna,” terang Elvira.

Selanjutnya  proses pencetakan dengan cara merentangkan kain setengah basah kemudian daun yang telah dipilih, ditata sedemikian rupa kemudian dipukul pukul dengan palu atau batu. Kekuatan dalam memukul harus dikendalikan agar daun tidak hancur dan warna meresap dengan baik pada kain.

Kemudian kain digulung pada kayu dengan mempertahankan posisi daun agar tidak bergeser. Setelah itu diikat kencang. Tahapan selanjutnya adalah pengukusan selama 2 jam. Pengukusan ini bertujuan agar warna dasar daun keluar. Setelah proses pengukusan selaesai, kain dibiarkan selama 3 hari, kemudian kain dibuka, dibersihkan dari sisa-sisa daun yang menempel di kain, maka motif sudah tercetak di kain.

“Selalu terjadi kejutan pada tahap ini karena warna, motif tidak selalu sama dengan apa yang dibayangkan sebelumnya,” kata Elvira.

Proses terakhir adalah fiksasi dilakukan dengan merendam kain dengan air tawas dengan tujuan mengikat motif dan warna agar tidak luntur. Setelah itu kain dicuci menggunkan lerak dan dijemur di terik matahari.

“Di sinilah letak seni dan keunikan ecoprint, karena baik warna maupun motif tidak bisa diulang sekalipun bahan dan proses pembuatan sama,” ungkap Elvira yang juga membuka kelas untuk pelatihan pembuatan batik ecoprint ini.

Elvira rutin mengikuti pameran Inacraft di Jakarta, membuktikan bahwa hasil karyanya telah banyak diterima masyarakat baik dalam maupun luar negeri. Dia mengaku bangga karena dengan bahan yang mudah dan tersedia di lingkungan sekitar bisa menciptakan hasil karya dengan kisaran harga ratusan ribu hingga jutaan rupiah, terlebih dia ikut andil melestarikan alam karena di setiap proses tidak menggunkan bahan kimia yang berpotensi merusak alam dan menimbulkan pencemaran. (KIM Ngaglik/Upik Wahyuni)***