Refleksi Komnas HAM di Peringatan Hari HAM 2018

:


Oleh Jhon Rico, Selasa, 11 Desember 2018 | 19:33 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 457


Jakarta, InfoPublik- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terus berupaya melalui kewenangan yang dimiliki untuk mendorong terciptanya kondisi hak asasi manusia yang lebih kondusif.

Menurut Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik dalam keterangan tertulisnya, Selasa (11/12), melalui Peringatan Hari HAM 2018, Komnas HAM hendak merefleksikan capaian dan tantangan pemajuan dan penegakan HAM dalam momentum 70 tahun DUHAM.

Ia menjelaskan, Komnas HAM telah menetapkan tiga tema strategis yang menjadi prioritas kelembagaan yaitu penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di masa lalu, pelaksanaan reforma agraria dan penanganan intoleransi, radikalisme dan ekstrimisme dengan kekerasan.

"Situasi yang dihadapi dalam rangka penyelesaian kasus-kasus Pelanggaran HAM berat masih tergolong terjal karena hingga hari ini masih jalan di tempat bahkan mengalami kemunduran," jelas dia.

Kasus-kasus tersebut adalah Kerusuhan Mei 1998, Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II; Penghilangan Paksa Aktivis 1997/1998; Kasus Wasior dan Wamena; Kasus Talangsari Lampung; Kasus Penembakan Misterius (Petrus); Peristiwa Pembantaian Massal 1965; Peristiwa Jambu Keupok Aceh; dan Peristiwa Simpang KKA Aceh dan peristiwa Rumah Geudong di Aceh yang terjadi pada masa Daerah Operasi Militer (DOM) 1989-1998.

Sesuai kewenangan yang dimiliki dalam UU No.26 Tahun 2000, kata dia, Komnas HAM telah menyelesaikan penyelidikan dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat pada kasus-kasus tersebut.

"Akan tetapi, sampai hari ini hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut belum ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung," ujar dia.

Menurutnya, situasi yang dihadapi dalam pelaksanaan reforma agraria untuk mewujudkan cita-cita UUD 1945 pun masih tergolong rumit karena belum mampu mengatasi ketimpangan struktur dan penguasaan sumber daya agraria.

Kondisi ini masih diperparah dengan polemik kerusakan lingkungan hidup, penyelesaian konflik agraria yang belum efektif dan belum adanya mekanisme kelembagaan penyelesaian konflik agraria yang sifatnya lintas sektor dan eksekutorial.

Selain itu, terangnya, situasi intoleransi, radikalisme dan ekstrimisme dengan kekerasan pun tak kalah mengkhawatirkan. "Survey yang dilakukan sejumlah lembaga penelitian independen menunjukkan gejala menguatnya intoleransi, diskriminasi, dan sentimen konservatisme agama di masyarakat," tutur dia.

Hal ini, menurutnya, patut menjadi perhatian karena tindakan intoleran dalam skala yang lebih luas dan massif dapat menimbulkan terjadinya goncangan sosial, konflik, dan kekerasan. Gejala ini pun diyakini akan terus meningkat seiring dengan momentum Pemilu tahun 2019.

Terkait situasi pelaksanaan reforma agraria, Komnas HAM merekomendasikan agar Presiden kembali menempatkan UU Nomor 5 Tahun 1960 dan TAP MPR Nomor IX/MPRRI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam menjadi dasar pelaksanaan reforma agraria di Indonesia yang seluruh ketentuannya harus dipenuhi atau dipatuhi.

"Memastikan pembentukan mekanisme pelaksanaan reforma agraria yang komprehensif dimana di dalamnya mencakup aspek perlindungan hak, mensejahterakan masyarakat, menjamin keadilan agraria, memiliki kewenangan dalam mengkoordinasikan dan menginstruksikan lembaga-lembaga negara/instansi pusat dan daerah untuk melaksanakan reforma agraria, serta dalam kerja-kerjanya menghormati supermasi hukum dan HAM, melibatkan peran masyarakat sipil serta kelembagaan yang langsung di bawah kendali Presiden RI," tegas Ahmad Taufan Damanik.

Komnas HAM juga merekomendasikan agar Presiden segera memastikan Jaksa Agung menggunakan kewenangannya untuk melakukan penyidikan atas berkas-berkas penyeledikan kasus yang telah diselesaikan oleh Komnas HAM.

Menurut dia, upaya yudisial lain yang dapat dilakukan oleh Presiden adalah menggunakan ketentuan Pasal 47 UU No.26 Tahun 2000 tentang penyelesaian melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dibentuk berdasarkan UU, meskipun MK telah menyatakan bahwa UU No.27 Tahun 2004 tentang KKR tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat namun tidak berarti penyelesaian melalui KKR tidak dimungkinkan lagi.

"Mengingat mendesaknya penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM Berat masa lalu dan ketiadaan payung hukum dibentuknya KKR, maka Presiden dapat mengeluarkan Perppu mengenai KKR," ujar dia.

Sedangkan terkait penanganan intoleransi, Komnas HAM merekomendasikan agar Presiden memastikan bekerjanya berbagai instrumen hukum dan kebijakan yang ada.

"Melakukan sinkronisasi, revisi dan pembaruan hukum yang mendorong situasi toleransi dapat berkembang secara kondusif," jelas dia.

Ia pun meminta agar aparat penegak hukum perlu secara tegas dan tepat dalam melakukan tindakan hukum untuk merespon berbagai tindakan kejahatan kebencian, diskriminasi terhadap kelompok minoritas dan tindakan-tindakan intoleransi lain.

"Negara harus memastikan akses bagi masyarakat yang menjadi korban berbagai tindakan intoleransi," tegasnya.