Menag Bahas Religius Hospital Dalam Pertemuan RS se-Indonesia

:


Oleh Wandi, Jumat, 19 Oktober 2018 | 09:32 WIB - Redaktur: Juli - 312


Jakarta,  InfoPublik - Pada era disrupsi saat ini, rumah sakit menghadapi tantangan yang tak mudah. Kemampuan teknis saja tidak cukup untuk bekal sebuah rumah sakit untuk dapat eksis. Sehingga perlu diimbangi degan kemampuan non teknis dan psikis.

Hal ini disampaikan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin saat menjadi pembicara pada Kongres Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) ke- 14, di Jakarta, Kamis (18/10).

Menurut Menag, cara untuk meningkatkan kemampuan non teknis dan psikologis adalah dengan lebih memahami diri agar dapat memanusiakan manusia. Sebab, inti dari setiap tindakan medis adalah upaya manusia menyelamatkan kehidupan manusia lainnya.

"Sadari bahwa sumber segala kesembuhan adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Kesadaran seperti itu akan mengantar paramedis kepada tindakan positif dalam merespons era disrupsi," pesan Menag.

Menag didaulat memberikan kuliah dalam sesi Memorial Lecture Amino Gondohutomo, yang merupakan bagian Kongres Persi ke-14.

"Lecture ini, tidak dilakukan pada setiap kali kongres Persi. Tapi hanya diberikan setiap empat tahun sekali. Tahun ini, kami minta kesediaan kesediaan Menag Lukman Hakim Saifuddin," ujar Ketua Panitia Kongres Persi ke-14, dr. Rachmat Mulyana.

Menurut Rachmat, pihaknya memang sengaja mengundang tokoh di luar dunia perumahsakitan untuk mengisi lecture yang dihadiri oleh pengelola rumah sakit se-Indonesia. “Ini agar kami mendapatkan khasanah keilmuan baru yang dapat menunjang pengelolaan rumah sakit,” tutur Rachmat.

Pada awal paparannya, Menag menyampaikan kegundahannya tentang terminologi 'Rumah Sakit'. "Padahal, kalau orang Barat menyebutnya hospital, dari kata hospitality. Artinya keramahtamahan. Sementara orang Arab menyebutkan musytasyfa. Tempat untuk menyembuhkan. Lalu kenapa di sini di sebutnya rumah sakit ya," kata Menag. 

Menurutnya, sebutan ini menjadi penting. "Karena jangan-jangan ini akan memengaruhi bagaimana kita memperlakukan para pasien," sambung Menag. 

Dalam paparannya, Menag juga mengingatkan praktisi dunia medis tentang struktur demografi penduduk Indonesia, yang merupakan masyarakat religius. Maka, yang bisa dilakukan adalah bagaimana berkolaborasi melayani masyarakat yang akrab dengan agama.

“Sudah sewajarnya di Indonesia yang masyarakatnya religius, nilai-nilai agama turut jadi perhatian kaum medis di rumah sakit. Ini yang disebut dengan Religious Hospital,” kata Menag.

Religious Hospital menurut Menag terjadi ketika dalam pengelolaan rumah sakit menyerap nilai-nilai agama yang bersifat universal. “Di antaranya seperti nilai helpfull, fairness, peace, humanity, dan lain-lain yang pada dasarnya tidak bertentangan satu agama dengan agama yang lain,” lanjut Menag.

Menurutnya, religious Hospital bisa terwujud ketika paramedis mengkombinasikan tindakan medis dengan sentuhan-sentuhan psikis yang sesuai dengan nilai agama yang universal. Ketika bisnis kesehatan tidak melupakan aspek keberagamaan dalam keberagaman masyarakat Indonesia.

“Ketika kita semua menempatkan kesehatan dan keselamatan jiwa manusia sebagai bentuk kasih sayang sesama manusia walaupun berbeda agama,” kata Menag.

Ciri lain religious hospital, menurut Menag adalah ketika industri rumah sakit dapat menjadi tempat bagi tumbuhnya ekonomi syariah hingga filantropi agama yang bersifat inklusif. Dalam Islam misalnya, penafsiran fiqih di seluruh dunia terkait pengelolaan dana umat sudah semakin terbuka. Sehingga wakaf tak lagi dimaknai jumud dan hanya berupa masjid.

“Jika kalangan rumah sakit berminat, bisa saja kita berdiskusi dengan para ahli fiqih untuk membahas kemungkinan skema pembiayaan pasien hingga investasi rumah sakit dengan memanfaatkan potensi dana umat, seperti wakaf, infak, dan sedekah,” imbuhnya.