Stunting Ancam Anak di Keluarga Perokok

:


Oleh G. Suranto, Sabtu, 25 Mei 2019 | 13:15 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 279


Jakarta, InfoPublik - Belanja rokok di Indonesia menjadi pengeluaran terbesar ketiga dalam rumah tangga. Padahal, merujuk pada hasil analisis data Indonesian Family Life Survey (IFLS), kemungkinan stunting bagi anak dari keluarga perokok lebih besar dari anak di keluarga tanpa perokok. 

"Rata-rata belanja rokok 12,4 %. Ini setara dengan dengan jumlah uang yang dikeluarkan untuk membeli sayur-mayur (8.1%),  telur, dan susu (4.3 %). “Bayangkan, kalau yang 12, 4 % itu disisihkan untuk keragaman pangan yang bermanfaat bagi peningkatan gizi anak. Uang  itu bisa dibelikan sesuatu yang berguna, mungkin dibelikan telur, ikan  sayur dan buah,” kata Umi Fahmida, peneliti utama SEAMEO Recfon, Jumat (24/5).

Acara Media Briefing di jalan Salemba Raya No. 6 Jakarta, digelar untuk menjelaskan kepada media terkait program Southeast Asian Ministers of Education Organization (SEAMEO) Regional Centre for Food and Nutrition (Recfon), Organisasi Bidang Pangan dan Gizi mendukung penyiapan generasi emas Indonesia 2045,  membantu menurunkan angka stunting.

Stunting yang antara lain ditandai dengan tubuh pendek yang tidak sesuai dengan usianya, masih menjadi masalah gizi utama bagi balita (bayi dan anak usia di bawah 5 tahun) di Indonesia, yang harus  segera dientaskan untuk mempersiapkan generasi emas Indonesia 2045.

SEAMEO Recfon bekerjasama dengan The Union-Bloomberg dalam melakukan studi untuk menilai potensi peningkatan pajak dan cukai rokok dan pemanfaatannya untuk program gizi terkait stunting di Indonesia.

Selain itu, berdasarkan studi dari Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia, anak-anak dari keluarga perokok kronis memiliki kecenderungan untuk tumbuh lebih pendek dan lebih ringan dibandingkan dengan anak dari keluarga tanpa perokok.

Umi menegaskan, akar persoalan stunting bisa dilihat dari tiga hal.  “Pertama, yang langsung itu karena asupan gizi anak jelek atau kurang. Kedua, dipengaruhi oleh seringnya anak sakit, sehingga penyerapan zat gizi tidak optimal. Ketiga, adalah pengaruh pola pengasuhan keluarga. Keluarga ini bukan cuma ibu, tetapi juga bapaknya“, terangnya.

Menurutnya, faktor keluarga berpengaruh cukup besar. “Namun ada faktor-faktor lain di tingkat komunitas antara lain seperti akses pelayanan kesehatan, kesehatan lingkungan, dan ketersediaan pangan,” ungkapnya.