Program Sekolah Gratis Banyak Dinikmati Siswa Keluarga Mampu

:


Oleh Astra Desita, Jumat, 29 September 2017 | 19:37 WIB - Redaktur: Juli - 716


Jakarta, InfoPublik - Program sekolah gratis semestinya bisa memperluas akses siswa dari keluarga tak mampu untuk mendapatkan pendidikan lebih baik. Tapi nyatanya, program itu disebut malah membuahkan ketidakadilan pendidikan yang semakin nyata.

Hal itu mengemuka dalam diskusi kelompok Menyusun Cetak Biru Pembangunan Manusia Indonesia di Tingkat Dasar dan Menegah yang digelar GESS di Jakarta, Jumat (29/9).

Selain itu disebutkan selama 14 tahun program sekolah gratis, sebagian besar penikmatnya adalah siswa dari ekonomi menengah ke atas.

“Sekolah gratis kan adanya di sekolah negeri. Kita lihat siswa yang bisa masuk ke sekolah negeri adalah siswa yang NEM-nya bagus, pintar, dan pasti itu hanya dimiliki oleh siswa dengan fasilitas pendidikan di keluarga yang mendukung,” tutur Indra Charismiadji, Direktur Eduspec Indonesia di sela diskusi.

Sementara siswa dari keluarga tak mampu, menurutnya lebih banyak masuk ke sekolah-sekolah berbayar alias sekolah swasta. Hanya sebagian kecil siswa miskin yang bisa mendapatkan bangku di sekolah negeri. 

Sehingga kata dia, hampir mustahil untuk menghadapkan siswa dari keluarga tak mampu ini dalam sistem kompetisi nilai saat hendak masuk ke sekolah menengah. Sebab umumnya anak-anak yang memiliki nilai bagus, NEM tinggi adalah anak-anak yang gizinya bagus, bisa membeli buku penunjang, bisa ikut bimbingan belajar dan memiliki waktu banyak untuk belajar.

Bandingkan dengan siswa dari keluarga tidak mampu. Lanjut Indra menceritakan, bahwa siswa dari keluarga tersebut misalnya tidak bisa ikut bimbingan belajar karena biayanya mahal. Status gizi mereka kurang dan fasilitas belajar juga tidak memungkinkan.

Indra mengaku prihatin dengan kondisi pendidikan yang demikian. Mengingat anggaran pendidikan yang digelontorkan oleh pemerintah sedemikian besar nilainya dan siapapun terutama siswa miskin berhak untuk menikmati pendidikan yang lebih baik.

Untuk memperbaiki kondisi yang demikian, Indra menilai perlunya pemerintah menyusun blueprint pendidikan yang melibatkan semua instansi terkait. Tidak hanya Kemendikbud, tetapi juga Kemenag, Kemendagri, Pemerintah Daerah, Kemenko PMK dan lainnya, yang dimaksudkan adalah semacam cetak biru penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.

Menurutnya, blueprint ini tidak hanya menjamin hak semua siswa untuk bisa mengakses pendidikan yang sama baiknya, tetapi juga untuk menjaga agar pembangunan pendidikan tetap berada di koridornya, tidak dimasuki oleh unsur atau kepentingan politik.

"Kemendikbud baru punya rencana jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang pembangunan pendidikan. Tetapi cetak biru pembangunan pendidikan belum ada,” pungkas Indra.