Padar dan Waerebo Hanya Secuil Surga Flores

:


Oleh Gusti Andry, Jumat, 9 Februari 2018 | 10:00 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 1K


Sungguh, judul di atas tak mengada-ada. Paling tidak, itu diakui beberapa anggota tim riset dari Kementerian Pariwisata yang bertugas mengeksplorasi sebagian Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur --pesona alam laut sekitar Labuan Bajo dan keindahan alam pegunungan Manggarai.

Mengapa keindahan Pulau Padar dan Desa Waerebo hanya secuil surga Flores? Sebab, kalau saja dikisahkan semua, entah kapan selesainya semua indah itu? Makna berkesenian  orang Manggarai saja, miliki berderet cerita. Seperti tutur dan langgam di balik Tari Caci, tidak sekadar nuansa kepahlawanan yang dikisahkan. Terdengar monotone memang, namun di situ ada unsur kearifan, keadilan, kedamaian, dan hal bijak lain yang coba dituahkan para leluhur dari generasi ke generasi.

Hingga tiba di pengujung Tahun 2017, saat Kementerian Pariwisata berhajat menciptakan semacam identitas,  atau bahasa lainnya adalah brand, bagi sejumlah destinasi pariwisata di Tanah Air. Terpilihlah lima tempat plesir, yakni Danau Toba (Sumatera Utara), Padang (Sumatera Barat), Palembang (Sumatera Selatan), Manado (Sulawesi Utara), dan Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur).

Proses pembuatan brand disebut dengan kegiatan Penyusunan Strategi Branding Destinasi. Brand yang akan diciptakan merupakan subbrand dari motherbrand kepariwisataan Nasional, yaitu Wonderful Indonesia (untuk wisatawan mancanegara) atau Pesona Indonesia (domestik). Kegiatan ini sendiri sebenarnya sudah kali kedua dilakukan pemerintah. Tahun 2016, 10 destinasi wisata sudah dibuatkan brand sendiri,  yakni Colorful Medan, Wonderful Riau Islands, Enjoy Jakarta, Stunning Bandung, Java Cultural Wonders, Majestic Banyuwangi, Bali the Island of Gods, Friendly LombokExplore Makassar, dan Golden Triangle Bunaken-Wakatobi-Raja Ampat.

Alih-alih menggencarkan promosi ke-10  the New Chapter of Indonesia itu, demi mengejar target 20 juta kunjungan wisatawan mancanegara di 2020, Menteri Pariwisata Arief Yahya kembali meminta jajarannya agar menyiapkan kembali brand bagi destinasi unggulan lainnya. Labuan Bajo adalah salah satunya.

"Promosi dititikberatkan  pada branding dan advertising, bergeser ke selling. Ingat BAS. Branding sudah dilakukan di tahun pertama, advertising dilanjutkan di tahun kedua. Tahun ketiga sudah harus selling to the point. Kita buat wisatawan tidak bisa menolak untuk berwisata ke Indonesia,” demikian harap Menteri Pariwisata Arief Yahya dalam berbagai kesempatan jumpa media.

Mengamini apa yang dihaturkan menteri,  Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai Barat Theodorus Suardi menegaskan  penetapan brand untuk destinasi wisata Labuan Bajo  sangat penting, karena Ibukota Kabupaten Manggarai Barat ini  memiliki banyak potensi wisata yang perlu diperkenalkan ke dunia.

Selain branding, kata Theo, Kementerian Pariwisata juga telah menetapkan advertising dan selling sebagai pendekatan utama untuk memasarkan pariwisata Labuan Bajo ke dunia. “Kita berharap hari ini kita sepakat untuk bersama-sama menetapkan branding destinasi Labuan Bajo sebagai titik start promosi dari seluruh stakeholder. Kita akan fokus pada satu branding,” katanya di depan sejumlah pelaku industri pariwisata dan tokoh masyarakat Labuan Bajo dalam kesempatan Sosialisasi Brand Enchanting Labuan Bajo yang dilakukan tim riset dari Kementerian Pariwisata,  Desember 2017.

Logotype Enchanting Labuan Bajo, yang dilengkapi dengan logogram gambar Komodo lengkap dengan siluet Manta dan Rumah Adat, disarankan oleh tim riset sebagai master brand identity, karena merepresentasikan unsur keajaiban dunia, keindahan pemandangan bawah laut, dan ekspresi kearifan budaya.

Konsultan Kementerian Pariwisata Freddy H Tulung mengatakan branding sangat dibutuhkan bagi sebuah kota pariwisata. Dengan branding, maka wisatawan atau orang luar bisa mempunyai gambaran tentang daerah Labuan Bajo. “Bali sangat terkenal secara internasional. Orang luar negeri lebih kenal Bali ketimbang nama Indonesia. Labuan Bajo tidak boleh kalah dengan Bali,” ujarnya seraya mengulang harapan Menpar, semoga branding ini bisa menggenjot kunjungan wisatawan ke Labuan Bajo sehingga berdampak positif secara ekonomi.

NTT dan Harapan

Berdampak positif secara ekonomi. Kalimat ini memang mudah diucapkan. Sayangnya, bagi masyarakat di Labuan Bajo, atau  Nusa Tenggara Timur secara lebih luas, selama ini hal tersebut masih jauh dari harapan. Betapa data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2017 merilis daftar provinsi berpenduduk miskin. Jumlah penduduk miskin di NTT masih berada di urutan tiga terbawah, yakni 21,85 persen. Sedikit lebih baik ketimbang Papua yang memiliki penduduk miskin terbanyak 27,62 persen atau  Papua Barat 25,1 persen.

Data pilu kemiskinan NTT ini sempat menjadi kontroversial di media sosial, ketika seorang menteri keceplosan mengaitkan merosotnya pendidikan nasional akibat rendahnya tingkat pendidikan di NTT. Tentu saja ini tak bisa dibenarkan. Apalagi, fakta sebenarnya jumlah penduduk miskin di NTT dalam dua tahun terakhir telah berkurang, yakni 22,61 di 2015 menjadi 22,19 di 2016, lalu sisa 21,85 di 2017. Perkara pendidikan, bukan hanya soal perut, tapi juga sejauh mana perhatian pemerintah pusat ke daerah-daerah. Demikian sedikit konklusi dari pendapat netizen.

Lepas dari kontroversi di atas, jauh-jauh hari sebelum Kementerian Pariwisata mem-branding Labuan Bajo, sebenarnya Gubernur NTT Frans Lebu Raya sudah menyadari eratnya kaitan antara kemiskinan dan pariwisata. Kurang lebih tiga tahun tarakhir, ia gencar mencanangkan kepanjangan lain dari NTT  adalah New Tourism Territory.

“Jangan lagi kepanjangan NTT itu Nanti Tuhan Tolong, melainkan yang benar adalah New Tourism Territory. Pariwisata masuk dalam enam agenda prioritas Gubernur dan Wakil Gubernur NTT  2013-2018. Saya bertekad  menjadikan NTT sebagai provinsi pariwisata,” ujar sosok yang 2018 ini akan mempurnakan  dua periode masa kepemimpinannya,  di depan sejumlah media yang meliput event tahunan Komodo Travel Mart di Kupang,  Oktober 2017.

Ditemui di raung kerjanya,  November lalu, Frans kembali menegaskan visinya dan mengajak seluruh warga NTT agar betul-betul sadar akan potensi wisata yang dimiliki.  Ia menyambut baik tersusunnya brand Enchanting Labuan Bajo dengan simbol seekor Komodo yang berdiri tegak. “Kabupaten lain jangan merasa iri dengan Labuan Bajo, sebab harus disadari bahwa Komodo memang yang paling mononjol dan harus menjadi ikon bagi kepariwisataan di NTT secara menyeluruh,” ujarnya.

Candaan serius yang berulangkali disampaikan Frans kepada publik adalah tentang hewan langka bernama Komodo yang habitat aslinya hanya ada di Pulau Komodo dan Pulau Rinca, dua pulau yang berada di wilayah administratif Kabupaten Manggarai Barat. “Saking langkanya, Komodo hanya ada di sini, tidak ada di tempat lain, bahkan di akhirat pun tidak ada,” selorohnya.

Memang, Gubernur yang pernah meneteskan air mata saat ada remaja NTT sukses memenangi ajang pencarian bakat di sebuah televisi swasta ini,  menggambarkan keindahan alam laut daerahnya dengan cara sendiri. Ia selalu mengajak siapapun, dari negara manapun, supaya mencoba diving menikmati keindahan alam bawah laut NTT.

Ia tambahkan dengan bumbu-bumbu, agar orang yang tidak bisa berenang jangan takut  untuk menyelam.  “Untuk menyelam tidak perlu bisa berenang kan...? Hahaha... Bagaimana cara timbul lagi bukan urusan saya. Saya sendiri sebenarnya belum pernah menyelam, tapi belum pernah pun, saya sudah bisa menggambarkan betapa indahnya alam bawah laut yang NTT miliki,” ujarnya sumringah.

Fantastique Padar

Gaya  Gubernur NTT yang terkesan hiperbola dalam menggambarkan keindahan alam NTT faktanya bukan isapan jempol belaka. Setidaknya, itulah yang diakui Eleonore Derichecour, wisatawan asal kota Lyon, Prancis. Sambil mengatur sisa napas usai menapaki puncak tertinggi Pulau Padar. Ia tak bisa banyak berkata-kata selain ungkapan kagum semacam “wow” atau “fantastique” akan indahnya lanskap yang tersaji dari atas.

Memang tak banyak wisatawan yang bersikeras naik hingga titik tertinggi pulau yang baru dalam tiga tahun terakhir ini view-nya sangat instragramable. Wajarlah momentum langka ini dimanfaatkan gadis ini dengan habis-habisan mengabadikannya lewat kamera ponsel miliknya. Terutama dengan menggunakan aplikasi Panorama 360 untuk memotret view laut sekeliling Pulau Padar dalam satu frame.

Eleonore, bersama saudaranya,  memilih beriwisata selama kurang lebih sepekan di Labuan Bajo dan sekitarnya berdasarkan informasi yang didapatnya dari teman. Ia ingin menghabiskan waktu untuk menjelajah pulau-pulau yang banyak memiliki pantai indah. Baginya sejak mula, daya tarik utama tentu saja Komodo. Namun, setelah ia menjelajah beberapa lokasi ternyata, “la beauté naturelle est incroyable, fantastique (keindahan alam di sini luar biasa, fantastis).”

Fantastiknya Pulau Padar juga menyihir Mhen Paang, warga Labuan Bajo yang ikut terlibat dalam Tim Riset Branding Destinasi Kementerian Pariwisata. Meski ia tinggal di Labuan Bajo, ibukota Kabupaten Manggarai Barat, dan juga adalah putra asli Flores asal Manggarai Timur, ke Pulau Padar ternyata baru kali pertama. Mhen sedikit pun tak terlihat malu, kalau selama ini ia ibarat katak dalam tempurung. Sebaliknya, berbagai pose, dari selfie hingga wefie, ia lakukan. Mhen benar-benar tersihir indahnya Padar.

Tak cuma Puncak Padar yang penuh nafsu dicumbunya, bersama sejumlah rekan dari Jakarta, ia juga menjajal beberapa spot snorkling. Paket wisata sehari penuh mereka habiskan untuk singgah di laut-laut dangkal sekitar gugusan Kepulauan Komodo. Andaikan kulit mereka kebal  akan rasa gatal yang disebabkan tersentuh benang ubur-ubur, barangkali hingga matahari terbenam pun tak masalah untuk terus main air. Apalagi satu spot belum sempat dikunjungi, Manta Point.

Ganasnya Komodo

Tentunya, selain memuaskan mata di Pulau Padar dan bermain air, menyapa Komodo di Pulau Rinca menjadi syarat mutlak bahwa sudah pernah berwisata ke Labuan Bajo. Populasi Komodo hanya sekitar 2.000 ekor tersebar  di Pulau Komodo dan Pulau Rinca.  Tapi, bagi wisatawan yang ingin langsung bertemu dengan hewan langka ini, disarankan untuk ke Pulau Rinca. Di pulau ini, hewan ganas itu suka bergerombol di sebuah rumah yang merupakan dapur dari Pos Taman Nasional Komodo (TNK).

Rupanya, si kadal raksasa ini menyukai apa-apa yang berbau anyir, terutama darah. Dulu pernah, cerita Erjun, Ranger di TNK Pulau Rinca, ada Komodo yang mengikuti seorang turis perempuan. “Saya tanya turis itu, ternyata ia sedang datang bulan. Langsung saya suruh ia ke tempat yang aman kembali ke kapal. Penciuman Komodo sangat tajam terhadap darah,” jelas Erjun yang selalu sigap dengan tongkat bercabangnya menghalau gerak gerik Komodo.

Wisatawan dipersilakan bebas mengambil foto Komodo dari berbagai angle sepanjang dalam pengawasan Ranger. Perlu diingat, Komodo adalah hewan buas yang tidak kenal rasa takut seperti kebanyakan hewan lain. Termasuk terhadap manusia, dia tak peduli, tak mengganggu dan tak merasa terganggu. Kecuali bila mencium amis, hati-hati!

Banyak keunikan lain dari hewan yang menurut legenda setempat adalah saudara kandung manusia penghuni Pulau Komodo. Semisal, Komodo akan menjaga telur-telurnya dari ancaman predator lain. Namun, saat telur menetas, ia malah memangsa anak-anaknya sendiri. Sejak bayi, Komodo sudah berlatih survive dari serangan induknya sendiri. Tidak ada hewan lain yang berperilaku seperti itu.

Dari sekian fakta Komodo ini, pertanyaannya adalah sebelum ditetapkan sebagai the New Seven Wonders pada pertengahan 2012 lalu, Komodo ada dimana? Pertanyaan ini ternyata cukup menggelitik Bupati Manggarai Barat Agustinus Ch Dula. “Kita tidak tahu mengapa Komodo hanya ada di sini.  Pasti Tuhan punya alasan mengapa menciptakan ini,” ujarnya.  

The Famous Waerebo

Bertualang ke Pulau Flores memang akan banyak ditingkah oleh keliaran.  Termasuk gigitan berpuluh lintah di kaki wisatawan saat berkunjung ke Desa Adat Waerebo yang terkenal itu. Terutama saat berkunjung di musim penghujan akhir tahun. Tapi jangan salah, bisa saja bagi wisatawan mancanegara, gigitan lintah itu malah yang mereka cari dalam perjalanan wisata alam liar.

Perjalanan berkendara dengan mobil atau motor diawali dari Labuan Bajo menuju ke timur lewat jalan raya lintas Flores. Setelah sekitar tiga jam perjalanan, ada belokan ke kiri keluar dari jalan raya. Mulai situ hingga empat jam ke depan,  perjalanan melewati kawasan hutan lindung, lalu menyisir pantai, memasuki hutan lindung lagi, hingga akhirnya tiba di batas akhir jalan yang bisa dilewati dengan berkendara.

Menariknya, saat melalui pesisir pantai selatan Pulau Flores. Bila biasanya pantai identik dengan pesisirnya yang penuh hamparan pasir, maka di sana yang ditemui adalah pantai bebatuan, mulai dari tebing  karang, hingga hamparan kerikil di sepanjang pesisir. Nuansa purbakala sangat kental terasa.

Pemandangan hutan lindung perawan tak kalah mengundang decak. Adrenalin pun terpacu saat mobil harus melalui jalan yang satu sisinya tebing dan sisi lainnya jurang. Setelah melewati sejumlah  desa, termasuk Desa Adat Todo yang arsitektur rumahnya memiliki kemiripan dengan Mbaru Niang yang ada di Waerebo, perjalanan berkendara berakhir di Desa Denge.

Petualangan berikutnya menuju Waerebo dilanjutkan dengan trekking sekitar tiga jam.  Curah hujan daerah pegunungan di sana tergolong tinggi, jadilah hujan lebat kerap menyiram langkah kaki sepanjang naik turun bukit. Perlu fisik prima melalui jalur becek sejauh 9,5 kilometer naik turun bukit yang harus ditempuh layaknya rute pendakian gunung.

Tak soal berjam-jam perjalanan dilalui, atau tak peduli seberapa banyak keringat mengucur, atau perih kaki akibat isapan lintah,  saat mata sudah menangkap tujuh kerucut atap Mbaru Niang  Desa Waerebo, semua terbayar. Mbaru Niang adalah rumah adat unik berbentuk kerucut dan memiliki lima lantai dan tinggi sekitar 15 meter. Udara pegunungan yang luar biasa sejuk, berpadu serasi dengan keramahan penduduk desa menyambut tamu di Rumah Gendang (rumah utama dari tujuh Mbaru Niang).

Sangat pantas Desa Waerebo menjadi sebegitu terkenal di kalangan para palancong. Padahal, Waerebo, juga Pulau Padar, dan yang pasti Sang Naga Komodo, hanyalah secuil dari sekian banyak penampakan surga yang ada di Flores.

“Tolong tambahkan bentuk gambar rumah adat dalam brand ini. Terserah bentuknya seperti apa, yang penting jangan ketinggalan untuk memasukkan unsur kekuatan budaya dalam kepariwisataan Labuan Bajo, Flores, atau NTT secara keseluruhan,” komentar Bupati Manggarai Barat untuk brand destinasi wisata wilayahnya, Enchanting Labuan Bajo... Labuan Bajo yang Menawan.