- Oleh Pasha Yudha Ernowo
- Senin, 19 Mei 2025 | 15:50 WIB
: Warga mencari informasi mengenai Surat Berharga Negara (SBN) jenis Sukuk Tabungan Seri ST014 di Semarang, Jawa Tengah, Senin (14/4/2025). Bank Indonesia (BI) mencatat posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Maret 2025 tercatat sebesar 157,1 miliar dolar Amerika Serikat (AS), meningkat dibandingkan posisi pada akhir Februari 2025 sebesar 154,5 miliar dolar AS. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc.
Oleh Pasha Yudha Ernowo, Selasa, 22 April 2025 | 18:55 WIB - Redaktur: Untung S - 425
Jakarta, Infopublik — Di tengah tensi perang dagang global yang kian rumit dan ketidakpastian yang terus membayangi, Bank Indonesia (BI) dinilai perlu mengambil langkah strategis demi mendukung pemulihan ekonomi nasional.
Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, menyarankan agar pemangkasan suku bunga kembali dipertimbangkan dalam Rapat Dewan Gubernur BI April 2025 ini.
Menurut Fakhrul, konflik dagang global bukan sekadar isu jangka pendek. "Kita harus melihat ini sebagai sesuatu yang struktural, berpotensi jangka panjang. Oleh karena itu, langkah-langkah kebijakan moneter harus lebih adaptif dan progresif,” ujar Fakhrul, saat dihubungi tim InfoPublik, Selasa (22/4/2025).
Realisasi inflasi yang kini berada di bawah target BI (2,5 persen ± 1 persen) membuka ruang untuk pelonggaran suku bunga. Potensi perlambatan ekonomi akibat tekanan eksternal juga menjadi alasan kuat untuk memberikan stimulus tambahan.
“Kondisi saat ini memberi peluang bagi BI untuk memangkas suku bunga, demi menjaga momentum pemulihan ekonomi,” ujar Fakhrul.
Nilai tukar rupiah yang berada di kisaran Rp16.800 per dolar AS disebut Fakhrul sebagai kondisi “overshoot”. Namun, alih-alih panik, ia mendorong pemanfaatan pelemahan rupiah sebagai alat peningkatan ekspor dan daya saing industri dalam negeri, terutama dari sektor berbasis komoditas.
Fakhrul juga menekankan bahwa efek pelemahan rupiah terhadap inflasi kini lebih terbatas. Sebagian besar utang dalam sistem keuangan Indonesia juga dilakukan dalam mata uang lokal, sehingga risiko tekanan dari sisi eksternal relatif terkendali.
“Rupiah lemah bukan pembawa ketakutan, tapi bisa jadi tools penting untuk mendorong industri nasional,” tegasnya.