- Oleh Eko Budiono
- Jumat, 13 September 2024 | 10:52 WIB
: Ilustrasu pimpinan sidang MK tengah mempersiapkan untuk pengujian permohonan yang diajukan pemohon/ foto: Youtube MK
Oleh Mukhammad Maulana Fajri, Senin, 5 Agustus 2024 | 11:13 WIB - Redaktur: Untung S - 218
Jakarta, InfoPublik - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) terhadap UUD 1945.
Berdasarkan siaran pers MK pada Senin (5/8/2024), sidang lanjutan pengujian UU HKPD tersebut digelar pada Senin (5/8/2024), dengan agenda mendengar keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan keterangan saksi pemohon serta saksi dan ahli pemohon Perkara 31/PUU-XXII/2024. Permohonan tersebut teregistrasi dengan Perkara Nomor 19/PUU-XXII/2024, 31/PUU-XXII/2024, dan 32/PUU-XXII/2024. Para pemohon menguji ketentuan Pasal 58 ayat (2) HKPD.
Pemerintah resmi menetapkan tarif efektif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang berlaku mulai 1 Januari 2024. Ketentuan itu telah diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 Pasal Nomor 58 ayat (2). Pada Pasal 58 ayat (2) HKPD disebutkan tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.
Para pemohon, yang merupakan pengusaha dalam bidang pariwisata, menguji pasal tersebut karena merasa dirugikan oleh ketentuan Pasal 58 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2022. Menurut mereka, ketentuan tersebut menimbulkan perlakuan berbeda dan bersifat diskriminatif. Para pemohon memohon agar tarif pajak untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan sama seperti jasa hiburan lain, yaitu paling tinggi 10 persen. Sebelum aturan ini, pelaku usaha telah membayar pajak sesuai peraturan daerah. Para pemohon berpendapat bahwa tarif PBJT baru, yang minimal 40 persen, akan memengaruhi konsumen karena tingginya biaya tambahan.
Dalam sidang pendahuluan yang telah dilaksanakan pada Kamis (29/2/2024), MK memberikan nasihat kepada para pemohon untuk memperbaiki petitum. MK menekankan bahwa jika pasal yang dimohonkan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, maka jasa hiburan yang disebutkan dalam norma a quo sama sekali tidak dipungut pajak. MK juga menyarankan para pemohon menjabarkan kualifikasi badan hukum terkait siapa yang sah dan berwenang untuk mewakilinya berperkara di MK berdasarkan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART).
Pada sidang dengan agenda mendengar keterangan DPR dan ahli pemohon pada Rabu (24/7/2024), Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Luky Alfirman, menjelaskan bahwa diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan spa ditetapkan sebagai objek PBJT dengan tarif khusus sesuai Pasal 58 ayat (2) UU HKPD.
Aktivitas tersebut dianggap sebagai gaya hidup, bukan kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, dan papan. Luky mewakili pemerintah dalam sidang pada Kamis (11/7/2024) yang membahas tiga perkara sekaligus. Presiden diwakili oleh jajaran Kementerian Keuangan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Dalam Negeri, serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Tarif yang tinggi membuat aktivitas ini hanya terjangkau oleh masyarakat berkemampuan ekonomi tinggi yang telah memenuhi kebutuhan utamanya dan memiliki dana lebih untuk kebutuhan sekunder dan tersier.
Para ahli yang dihadirkan dalam sidang tersebut memberikan keterangan bahwa spa seharusnya tidak digolongkan sebagai tempat hiburan seperti diskotek atau karaoke. Spa merupakan bagian dari layanan kesehatan, bukan sekadar hiburan. Penggolongan yang salah ini tidak hanya bertentangan dengan undang-undang kesehatan tetapi juga berdampak negatif pada perekonomian.
Aturan pajak yang berlaku saat ini juga dinilai tidak adil dan perlu disesuaikan agar mendukung pertumbuhan industri spa dan kesejahteraan masyarakat. Mereka mengkritik aturan yang memasukkan spa ke dalam kategori yang sama dengan tempat hiburan malam seperti diskotek dan karaoke. Menurut para ahli, hal ini bertentangan dengan konstitusi karena setiap warga negara berhak atas hidup yang sehat.