- Oleh Wandi
- Jumat, 23 Mei 2025 | 18:44 WIB
: Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB), M Adib Abdushomad rapat during bersama FKUB dari berbagai daerah, Kamis (17/4/2025)./Foto Istimewa/Humaa Kemenag
Jakarta, InfoPublik – Kementerian Agama punya cara unik dalam merawat bumi sekaligus memperkuat kerukunan antarumat. Lewat program penanaman sejuta pohon matoa, Kemenag menggandeng Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dari seluruh Indonesia untuk terlibat langsung dalam gerakan penghijauan yang sarat makna spiritual dan sosial.
Bukan sekadar menanam pohon, gerakan ini disebut sebagai bagian dari penguatan ekoteologi—gagasan bahwa menjaga lingkungan adalah juga bentuk ibadah. Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB), M Adib Abdushomad, menegaskan bahwa gerakan ini akan menjadi simbol nyata kolaborasi lintas iman dalam merawat ciptaan Tuhan.
“Penanaman sejuta pohon matoa ini bukan hanya bentuk kepedulian terhadap lingkungan, tetapi juga simbol kerja sama lintas iman dalam merawat ciptaan Tuhan,” ujar Adib dalam rapat daring bersama ratusan delegasi FKUB dari berbagai daerah, Kamis (17/4/2025).
Gerakan ini akan dimulai serentak pada 22 April 2025, bertepatan dengan Hari Bumi. Kampus Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) di Depok akan menjadi titik awal, diikuti penanaman serentak dan bertahap di berbagai daerah hingga akhir tahun. Targetnya, tiap FKUB menanam 5.000 hingga 10.000 pohon matoa.
Mengapa matoa? Adib menjelaskan, pohon ini dipilih karena rindang, memiliki buah bernilai ekonomi, dan cocok untuk berbagai wilayah di Indonesia. “Dengan menanam pohon matoa, masyarakat bisa menikmati buahnya sekaligus suasana lingkungan yang lebih sejuk,” jelasnya.
Kemenag juga bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta komunitas lingkungan seperti Gerakan Tanam Pohon Indonesia untuk menyediakan bibit dan pendampingan teknis.
Dari Jawa Tengah, apresiasi datang dari Zaimatul Hasanah, pengurus FKUB Kanwil Kemenag setempat. Ia melihat gerakan ini sebagai cara kreatif membangun kesadaran kolektif.
“Kita tanam pohon, tapi yang tumbuh bukan hanya akar dan batang. Tapi juga rasa cinta, persaudaraan, dan tanggung jawab bersama,” ujarnya puitis.
Bagi Zaima, inilah wajah ekoteologi yang nyata: ketika iman dan aksi nyata bersatu untuk bumi yang lebih hijau dan masyarakat yang lebih rukun.