- Oleh Pasha Yudha Ernowo
- Sabtu, 17 Mei 2025 | 18:41 WIB
: Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti dalam acara Badan Bahasa di Kantor Kemendikdasmen(Foto: Dok Kemendikdasmen)
Oleh Pasha Yudha Ernowo, Jumat, 25 April 2025 | 15:30 WIB - Redaktur: Untung S - 223
Jakarta, InfoPublik – Pemerintah semakin serius dalam menjaga kedaulatan bahasa Indonesia di ruang publik. Melalui terbitnya Permendikdasmen Nomor 2 Tahun 2025 tentang Pedoman Pengawasan Penggunaan Bahasa Indonesia, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah menegaskan komitmennya dalam menertibkan penggunaan bahasa asing yang berlebihan di ruang-ruang resmi dan institusi publik.
Aktivis pendidikan dari Tamansiswa, Ki Darmaningtyas, menyambut baik langkah ini. Karena bahasa Indonesia adalah bagian tak terpisahkan dari identitas dan kedaulatan bangsa. “Kalau tidak dijaga, bahasa kita bisa tergerus. Padahal, bahasa adalah simbol jati diri bangsa,” ujar Ki Darmaningtyas, saat dihubungi tim InfoPublik, Jumat (25/4/2025).
Permen tersebut menjadi upaya konkret dalam menanggapi fenomena meningkatnya xenomania, yakni kecenderungan berlebihan terhadap bahasa asing. Hal ini tampak dari banyaknya papan informasi, petunjuk, dan nama lembaga yang hanya menggunakan bahasa asing tanpa padanan bahasa Indonesia, seperti "exit" tanpa “keluar”, atau nama sekolah dengan tulisan asing.
“Bahkan ada sekolah di tengah kota pakai tulisan China. Ini wilayah Indonesia, bukan zona bebas bahasa nasional,” tambah Darmaningtyas.
Melalui Badan Bahasa, Kemendikdasmen sejak 2022 telah melakukan pembinaan terhadap 1.437 lembaga di 31 provinsi. Lembaga yang dibina mencakup institusi pemerintah, pendidikan, dan swasta. Pembinaan dilakukan lewat audiensi, analisis data, sosialisasi, pendampingan, hingga pemberian apresiasi.
Tujuan utama program ini adalah meningkatkan kualitas penggunaan bahasa Indonesia dalam berbagai ranah, terutama pada landskap bahasa (linguistic landscape) dan dokumen resmi.
Ki Darmaningtyas juga mengkritik tren pejabat yang menggunakan istilah asing demi terlihat intelek. “Yang bikin pejabat terlihat berpendidikan itu bukan karena ngomong pakai istilah asing, tapi dari nalar berpikirnya,” tegasnya.
Ia mencontohkan Jepang dan Thailand yang tetap menjaga kebanggaan pada bahasa nasional mereka. “Di Thailand semua nama lembaga ditulis dalam bahasa Thailand. Kita bisa meniru itu,” katanya.
Darmaningtyas mengusulkan agar penggunaan bahasa asing dibatasi pada konteks akademik atau internasional saja. Di luar itu, bahasa Indonesia bahkan bisa disandingkan dengan bahasa daerah untuk memperkaya komunikasi.
“Kalau perlu, pakai bahasa daerah yang mudah dipahami. Yang penting tetap dalam koridor nasionalisme,” tutupnya.