- Oleh MC KAB PULANG PISAU
- Selasa, 17 Juni 2025 | 20:22 WIB
: Menteri Agama Nasarudin Umar. dalam forum internasional bertajuk “Religion and Diplomacy in a Fragmented World” yang diselenggarakan oleh School of Foreign Service Institute for the Study of Diplomacy dan Alwaleed Center for Muslim-Christian Understanding di Georgetown University, Washington, D.C../Foto Istimewa/Humas Kemenag
Washington D.C, InfoPublik – Menteri Agama Republik Indonesia (Menag RI), Nasaruddin Umar, menegaskan komitmen Indonesia dalam mempromosikan dialog antaragama, perdamaian, dan keadilan sosial di kancah global.
Hal itu disampaikannya dalam forum internasional bertajuk “Religion and Diplomacy in a Fragmented World” yang diselenggarakan oleh School of Foreign Service Institute for the Study of Diplomacy dan Alwaleed Center for Muslim-Christian Understanding di Georgetown University, Washington, D.C..
Dalam pidatonya, Nasaruddin menegaskan bahwa kebijakan strategis di Indonesia senantiasa mempertimbangkan nilai-nilai agama. “Tidak ada kebijakan strategis di Indonesia yang diambil tanpa mempertimbangkan nilai-nilai agama,” ujar Nasaruddin, alumnus program post-doktoral Georgetown University, sebagaimana dilansir situs Kemenpora, Kamis (22/5/2025).
Menag menekankan bahwa kebebasan beragama dijamin oleh konstitusi Indonesia, namun harus dijalankan dengan tanggung jawab dan menghormati hak-hak orang lain. “Ini adalah wujud nyata dari moderasi beragama di Indonesia,” ujarnya.
Salah satu program unggulan yang diperkenalkan Nasaruddin adalah Curriculum of Love, sebuah kurikulum berbasis cinta kasih yang bertujuan menanamkan nilai kebangsaan, toleransi, dan penghargaan terhadap keberagaman dalam sistem pendidikan nasional.
“Kami menanamkan bahwa menjadi orang beragama berarti menjadi warga negara yang baik. Toleransi bukan menyamakan semua agama, melainkan menghargai perbedaan dan membiarkan setiap orang menjalankan keyakinannya secara bebas,” jelasnya.
Indonesia sebagai Laboratorium Keberagaman
Dalam forum yang dimoderatori Dr. Nader Hashemi dan turut menghadirkan cendekiawan Asia Tenggara Dr. Kevin W. Fogg dari University of North Carolina ini, Nasaruddin memaparkan keragaman Indonesia: lebih dari 700 bahasa, 1.300 suku bangsa, enam agama resmi, dan ratusan kepercayaan lokal.
“Dalam konteks ini, agama bukan hanya identitas spiritual, tetapi juga pilar penting untuk menjaga kohesi sosial dan stabilitas politik,” ujar Menag.
Menag juga mengangkat komitmen Indonesia dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Menurutnya, pendekatan berbasis agama telah membuka akses pendidikan dan partisipasi politik yang lebih luas bagi perempuan.
“Tidak kurang dari 25 persen lembaga pendidikan di Indonesia dikelola oleh organisasi keagamaan. Mereka berada di garis depan dalam pemberdayaan perempuan,” katanya. Ia menyebut gerakan perempuan Indonesia sebagai salah satu yang paling sukses dalam dunia Islam.
Menag juga memperkenalkan konsep ekoteologi, pendekatan keagamaan yang menempatkan pelestarian lingkungan sebagai bagian dari ibadah. “Krisis lingkungan bukan hanya soal teknologi, tapi cara pandang manusia terhadap dirinya dan alam semesta,” jelasnya.
Ia mencontohkan gerakan penanaman pohon oleh Kementerian Agama di lingkungan sekolah, kantor, dan rumah ibadah sebagai bentuk ibadah ekologis sekaligus pendidikan karakter.
Memperkuat Dialog Abrahamik
Menutup pidatonya, Nasaruddin mengutip Surat Al-Baqarah ayat 62 yang menyebut bahwa keselamatan tidak hanya milik umat Islam, tetapi juga bagi mereka yang beriman dan berbuat baik dari kalangan Yahudi, Kristen, dan Sabiin.
“Kita semua adalah pewaris agama Abrahamik. Mari bekerja sama menjadikan dunia ini lebih damai dan berkeadilan,” tutupnya.
Forum yang dihadiri para tokoh lintas agama dan budaya ini menegaskan peran Indonesia sebagai contoh nyata negara demokratis dengan populasi Muslim terbesar yang mampu menjaga harmoni antarumat beragama, menumbuhkan nilai toleransi, serta mempromosikan keberlanjutan melalui pendekatan spiritual.