Gencatan Senjata Global di Tengah Pandemi

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Sabtu, 30 Mei 2020 | 05:56 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 1K


Jakarta, InfoPublik - Peran Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB), konflik bersenjata dan pandemi Covid-19. Tiga poin itu menjadi pokok bahasan Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi dalam Pertemuan Terbuka Tingkat Tinggi DK PBB mengenai "Perlindungan Warga Sipil dalam Konflik Bersenjata", Rabu (27/05/2020).

Pertemuan Terbuka Tingkat Tinggi DK PBB  tersebut digelar melalui video teleconference, dan dipimpin Presiden Estonia Kersti Kaljulaid. Selain Menlu Retno, pertemuan diikuti oleh Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, Menlu dari Inggris dan Jerman, Peraih Nobel Perdamaian 2011 Ellen Johnson Sirleaf, Presiden Komite Palang Merah International (ICRC) Peter Maurer, dan seluruh anggota DK PBB.

Menurut Menlu Retno, DK PBB memiliki kewajiban moral untuk melindungi warga sipil saat terjadi konflik bersenjata di masa pandemi virus corona jenis baru, SARS-CoV-2, seperti sekarang ini.

Pasalnya, fakta di lapangan membuktikan bahwa pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19), penyakit akibat SARS-CoV-2, tidak menghentikan konflik bersenjata di berbagai belahan dunia. Data yang ada bahkan menunjukkan sebaliknya, di mana konflik justru semakin meningkat.

Aksi kekerasan akibat konflik bersenjata meningkat sekitar 37 persen pada pertengahan Maret sampai pertengahan April 2020, di mana beberapa di antaranya terjadi di wilayah Sub Sahara Afrika. Selain itu, dalam dua bulan terakhir, konflik bersenjata telah menyebabkan lebih dari 661.000 orang terusir paksa dari rumahnya.

Pada kesempatan tersebut juga, Menlu Retno menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia mendukung pernyataan sikap Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, yang mendesak seluruh pihak berkonflik melakukan humanitarian pause atau menghentikan sementara pertempuran guna memudahkan bantuan kemanusiaan masuk ke daerah konflik selama pandemi Covid-19.

"Covid-19 jadi momentum untuk menghentikan pertempuran dan menurunkan senjata, di antaranya termasuk konflik di Afghanistan, dan ini sejalan dengan desakan yang disampaikan Sekretaris Jenderal PBB untuk segera menghentikan pertempuran selama pandemi," tutur Menlu Retno saat jumpa pers di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (28/5/2020).

Selain Antonio Guterres, Sekretaris Jenderal Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Yousef A Al-Othaimeen juga telah dua kali menyerukan gencatan senjata di Afghanistan. Kemudian para diplomat Amerika Serikat dan Eropa pun telah meminta Taliban untuk mengumumkan gencatan senjata. Bahkan, Presiden Afghanistan Ashraf Ghani sendiri menyerukan gencatan senjata selama Ramadan, bulan suci bagi umat Muslim.

Meskipun ada permintaan kemanusiaan internasional untuk gencatan senjata yang akan memungkinkan Pemerintah Afghanistan dan Taliban bekerja sama menangani pandemi, nyatanya Taliban terus menyerang pasukan keamanan Afghanistan di berbagai tempat, di mana kebanyakan di wilayah pedesaan.

Taliban pun menyatakan menolak untuk mengumumkan gencatan senjata. Namun demikian, mereka mengatakan akan menghentikan pertempuran di daerah-daerah di mana Covid-19 telah menginfeksi penduduknya.

Dilansir The Diplomat, Misi Bantuan PBB untuk Afghanistan (UNAMA) mendokumentasikan ada sebanyak 533 warga sipil, termasuk 150 anak-anak, telah terbunuh pada kuartal pertama 2020 akibat konflik bersenjata tersebut.

Akan tetapi, gencatan senjata yang terjadi selama perayaan Idulfitri beberapa waktu lalu di Afghanistan pun mendapat apresiasi oleh sejumlah pihak. Termasuk lima negara, yakni Indonesia, Jerman, Norwegia, Uzbekistan, dan Qatar, yang memberikan pernyataan bersama pada 24 Mei 2020.

Dalam pernyataan bersama tersebut, kelima negara menilai gencatan senjata ini merupakan langkah positif ke depan yang memberikan secercah harapan dan sepakat untuk bekerja sama mendukung proses perdamaian yang inklusif di Afghanistan, serta siap membantu proses tersebut melalui cara apapun sesuai aspirasi para pihak.

Di samping humanitarian pause, hal kedua yang disampaikan Menlu Retno dalam Pertemuan Terbuka Tingkat Tinggi DK PBB adalah Pemerintah Indonesia juga mendesak DK PBB untuk memastikan negara-negara anggota mematuhi hukum kemanusiaan internasional, khususnya terkait situasi di Palestina.

"Saya menggarisbawahi situasi di Palestina, yang mana kepatuhan terhadap hukum kemanusiaan internasional sangat dibutuhkan mengingat mereka (Palestina) menghadapi ancaman pandemi dan aneksasi dalam waktu bersamaan," tegasnya.

Seperti diketahui, Israel, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, berencana mengambil paksa seluruh wilayah Tepi Barat pada 1 Juli 2020. Rencana tersebut mendapat dukungan dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump, tetapi ditentang oleh Palestina serta sebagian besar negara di Eropa dan Asia.

Maka itu, Menlu Retno menekankan bahwa DK PBB mempunyai kewajiban untuk memulihkan kembali hak Palestina terhadap wilayahnya sesuai dengan Tapal Batas 1967 (1967 Borders atau Green Line), yakni garis batas yang ditetapkan saat gencatan senjata sebelum Israel mengadakan serangan selama enam hari ke daerah-daerah yang dihuni oleh rakyat Palestina, termasuk di antaranya di Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur.

"Kita tidak dapat membiarkan Israel melanjutkan rencana aneksasinya (di Tepi Barat)," tegas Menlu Retno.

Sikap pemerintah dan masyarakat Indonesia terhadap perjuangan Palestina atas kemerdekaannya memang tidak pernah padam dan berubah seiring perjalanan waktu. Bahkan, Indonesia termasuk negara pertama yang mengakui kemerdekaan Palestina setelah dideklarasikannya Negara Palestina di Aljazair, 15 November 1988.

Sejak saat itu, Indonesia terlibat aktif dalam berbagai perjuangan Palestina yang dituangkan dalam kerja sama di berbagai bidang termasuk peningkatan kapasitas. Melalui berbagai forum, termasuk PBB, OKI, dan Gerakan Non-Blok (GNB), Indonesia juga secara konsisten menyuarakan dukungan terhadap perjuangan Palestina untuk memperoleh kemerdekaan dan kedaulatannya secara penuh.

Namun demikian, selama beberapa dekade hingga sekarang, Palestina telah menjadi sasaran kebijakan Israel untuk menggusur rakyat Palestina dari tanah mereka sendiri. Pengungsi Palestina terkungkung dalam pengungsian terbesar dan terlama di dunia, dan warga Palestina terus menanggung penjajahan terpanjang dalam sejarah kontemporer.

Maka itu, Pemerintah Indonesia memberi perhatian khusus pada perjuangan Palestina selama masa keanggotaan Indonesia di DK PBB periode 2019-2020.

Adapun isu terakhir yang diangkat Menlu Retno dalam Pertemuan Terbuka Tingkat Tinggi DK PBB adalah terkait desakan untuk DK PBB dan negara-negara anggota meningkatkan partisipasi perempuan dalam upaya perlindungan terhadap warga sipil di daerah konflik.

"Komitmen Indonesia terhadap perempuan, perdamaian, dan keamanan sering disampaikan pada banyak kesempatan, dan saya akan terus berbuat demikian di masa depan," ujarnya.

Menurut Menlu Retno, pemberdayaan perempuan merupakan elemen penting dalam perlindungan warga sipil, di mana perempuan harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pengembangan dan implementasi strategi perlindungan warga sipil.

Oleh karenanya, pada kesempatan tersebut dirinya berbagi pengalaman ketika melakukan kunjungan ke Kabul, Afghanistan, dan memimpin dialog antara perempuan Indonesia dan Afghanistan pada Februari 2020 lalu. Selain itu, Indonesia juga berkomitmen dalam meningkatkan jumlah pasukan perdamaian perempuan yang saat ini berjumlah 154 orang.

Pasukan perdamaian perempuan memang merupakan salah satu isu prioritas yang akan didorong oleh Pemerintah Indonesia selama menjadi anggota tidak tetap DK PBB, yakni melanjutkan kontribusi dalam upaya mewujudkan perdamaian dunia dengan meningkatkan peranan perempuan dalam proses perdamaian.

Dalam hal pengiriman pasukan perdamaian, Indonesia sendiri telah memberikan kontribusi sejak tahun 1957. Berdasarkan data Kemlu RI per 2019, Indonesia menduduki posisi 8 dari 124 negara penyumbang personel pasukan perdamaian terbesar dengan 3.080 personel, di mana 106 di antaranya adalah perempuan yang bertugas di delapan Misi Pemeliharaan Perdamaian (MPP).

Di banyak negara di mana MPP dilakukan, kekerasan berbasis gender dan kekerasan seksual terkait konflik kerap kali terjadi. Baik sebagai warga sipil maupun pejuang, perempuan dan anak-anak adalah korban terbanyak dalam suatu konflik.

Misalnya, perempuan yang dianggap sebagai anggota keluarga kombatan sering menjadi sasaran kekerasan dan pelecehan dalam komunitas mereka. Hal ini tentu memengaruhi kemampuan mereka untuk bergerak bebas dan memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Melihat situasi ini, peran penjaga perdamaian perempuan pun menjadi sangat krusial.

Indonesia percaya bahwa keberadaan perempuan sebagai personel penjaga perdamaian akan memberikan andil besar terhadap keberhasilan suatu misi, dikarenakan peran perempuan dalam konstruksi sosial di masyarakat serta aspek psiko-sosial membuat perempuan mempunyai keistimewaan dalam misi-misi kemanusiaan.

Perempuan dinilai lebih peka terhadap situasi lingkungan dan budaya setempat sehingga meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap keberadaan penjaga perdamaian perempuan. Selain itu, keberadaan penjaga perdamaian perempuan juga memberikan rasa aman dan nyaman, terutama bagi anak-anak dan perempuan yang seringkali menjadi korban kekerasan seksual dalam suatu konflik. (Foto: Kemlu)