Menaker Dorong Perguruan Tinggi Mengacu KKNI

:


Oleh H. A. Azwar, Selasa, 31 Mei 2016 | 23:30 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 788


Jakarta, InfoPublik - Menteri Ketenagakerjaan Muhammad Hanif Dakhiri mendorong perguruan tinggi melakukan disain formulasi program pendidikan yang mengacu kepada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).

Program pendidikan menurut Hanif Dakhiri seharusnya dirancang untuk menghasilkan lulusan yang memiliki kecakapan kerja (employability skill) juga membangun karakter (character building).

Hanif menegaskan, dalam Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), pergerakan tenaga kerja antar negara akan semakin mengalir sehingga tuntutan terhadap pengelolaan dan peningkatan mutu tenaga kerja nasional serta kesetaraan kualifikasinya dengan tenaga kerja asing akan menjadi salah satu tantangan yang dihadapi pemerintah.

Adanya KKNI menjadi rujukan penataan tenaga kerja Indonesia di berbagai sektor dengan menetapkan jenjang kualifikasi yang jelas dan kesetaraannya dengan kualifikasi negara-negara lain di dunia, tegas Hanif dalam acara grand launching penandatanganan nota kesepahaman kerja sama pelatihan berbasis kompetensi PPM Manajemen-INDHRI di Jakarta, Selasa (31/5).

Hanif menjelaskan, KKNI merupakan perwujudan mutu dan jati diri bangsa Indonesia yang menyandingkan, menyetarakan dan mengintegrasikan antara pendidikan, pelatihan dan pengalaman kerja untuk menghasilkan SDM nasional yang bermutu dan produktif.

Karena itu KKNI digunakan sebagai rujukan netral dalam proses penyetaraan terhadap capaian kompetensi untuk mendapatkan pengakuan, jelas Hanif.

Menurut Hanif, meskipun pemerintah belum mewajibkan seluruh dunia industri dan dunia usaha untuk menerapkan sertifikasi, namun pihaknya sedang proses menuju agar sertifikasi menjadi kewajiban di seluruh sektor dan seluruh industri Indonesia.

Jika pemerintah mewajibkan sertifikasi sejak sekarang, sementara bahan bakunya masih belum siap, maka dikhawatirkan akan menimbulkan persoalan, ujarnya.

Terkait hal itu, Hanif mendorong di seluruh sektor menerapkan KKNI dan membentuk standar kompetensi kerja nasional Indonesia (SKKNI), dan mengembangkan pelatihan-pelatihan berbasis kompetensi. Selain itu juga mendorong rekruitmen berbasis kompetensi.

Saya juga seringkali mengingatkan teman-teman industri dan dunia usaha jika ada lowongan kerja sudah minta, meski belum sifatnya wajib. Saya sudah mulai dorong, dunia usaha untuk mulai melakukan rekruitmen berbasis kompetensi. Setidaknya kompetensi menjadi alternatif, kata Hanif.

Menaker mencontohkan, jika perusahaan konveksi mau membuka lowongan bagi tukang jahit, syarat lulusan SMA atau sederajat atau bersertifikasi kompetensi menjahit. “Jadi, mereka yang punya ijazah SMA bisa datang, mereka tidak punya ijazah SMA tapi punya sertifikat bisa dating,” papar Hanif.

Hanif menambahkan, secara realitas kompetensi dan profesionalisme tidak diukur dari kualifikasi pendidikan, tetapi lebih banyak ditentukan kemampuan atau kualitas individu. Artinya saat ini banyak tenaga kerja kompeten dan profeskional di berbagai bidang, tapi mereka tidak lahir dari proses pendidikan tinggi melainkan dari suatu proses pelatihan, pengalaman yang panjang dan otodidak.

Karenanya, disinilah peranan lembaga pendidikan selain menyiapkan SDM berkualitas, juga tidak kalah penting memberikan pengakuan kepada tenaga kerja yang berpengalaman teresbut melalui suatu mekanisme legal sebagaimana aturan yang ditetapkan. Upaya pengakuan itu dimungkinkan dengan adanya Perpres Nomor 8 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, tukas Hanif.