Siaran Pers: Peta Jalan Asuransi Manajemen Risiko Bencana

:


Oleh Irvina Falah, Minggu, 14 Oktober 2018 | 11:12 WIB - Redaktur: Irvina Falah - 599


Nusa Dua, Bali, 13 Oktober 2018 - Dari tahun 2004 sampai 2013, Indonesia mengalami kerugian sebesar Rp126,7 triliun akibat bencana alam. Sementara itu, alokasi nasional tahunan untuk pemulihan dari bencana berjumlah Rp3,1 triliun. Bencana Aceh sendiri menimbulkan kerugian sebesar Rp51,4 triliun, sehingga Indonesia berinisiatif untuk mengambil langkah Asuransi Risiko Bencana. Untuk pertama kalinya, Indonesia mulai mentransfer risiko dari tanggap bencana, pemulihan dan rekonstruksi, mulai tanggap keuangan sampai asuransi.

Untuk itu, Indonesia mengembangkan peta jalan menuju peningkatan manajemen risiko melalui asuransi. Pada tahun 2019, Indonesia mengasuransikan semua bangunan Pemerintah, hal yang sama juga diterapkan di Filipina.

Banyak negara sudah mengembangkan pasar asuransi yang memungkinkan keluarga mengasuransikan mobil, rumah, dan kesehatan mereka. Hal ini bertuuan agar mereka lebih siap bila terjadi kecelakaan atau pun bencana alam. Pembayaran dalam jumlah kecil secara reguler untuk asuransi ditujukan untuk memfasilitasi rekonstruksi rumah dan penggantian kendaraan setelah terjadinya bencana alam. Harapannya adalah masyarakat mengasuransikan aset berharga mereka, dan demikian juga Pemerintah, mengurangi permintaan terhadap Pemerintah untuk mengalosikan kembali Anggaran Pembangunan Nasional untuk pencairan darurat, menghalangi kemampuan Pemerintah untuk membiayai pembangunan yang sedang berjalan.

Wakil Presiden H. Jusuf Kalla menjelaskan tentang keuntungan asuransi di hadapan peserta Dialog Tingkat Tinggi mengenai Asuransi dan Pembiayaan Risiko dalam acara Sidang Tahunan IMF-WBG tahun 2018 di Bali, Rabu, 10 Oktober 2018.

Indonesia mengusung inisiatif untuk mengembangkan pembiayaan campuran “blended finance” di mana Pemerintah bersama industri berinvestasi dalam program, didukung oleh hibah, pinjaman lunak atau pembiayaan dari filantropi yang membuat keuangan swasta tertarik untuk mendukung pembangunan jangka panjang yang menyokong tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Sebagai Tuan Rumah penyelenggaraan Pertemuan Tahunan IMF-WBG 2018, Indonesia memperoleh banyak keuntungan, mulai dari transfer pengetahuan, investasi dan perdagangan, pariwisata dan menampilkan kepemimpinan Indonesia ke forum global; hingga pendapatan devisa dan manfaat ekonomi jangka pendek sekitar Rp5,9 triliun selama berlangsungnya acara yang dihadiri sekitar 36.000 orang. Perolehan ini sebagian besar berasal dari sektor swasta seperti transportasi, akomodasi, makanan dan minuman, belanja dan hiburan, termasuk wisata alam dan budaya.

Informasi Lebih Lanjut, silakan menghubungi:
Joint Editors of Indonesia Communications (ICOM) at the ICOM Center
Nusa Dua Beach Hotel, Bali  

Catatan untuk Editor:
IMF juga menyelenggarakan acara pendukung selain sesi pleno, yang melengkapi acara inti Pertemuan Tahunan IMF-WBG 2018 yang mengambil tema Ekonomi Global. World Bank Group menyelenggarakan acara yang membahas sumber daya manusia, pertumbuhan ekonomi yang inklusif, termasuk urbanisasi, perpajakan dan ketimpangan. Selain itu, diadakan juga acara-acara yang membahas bagaimana teknologi rekanan dapat memanfaatkan teknologi untuk pertumbuhan, bagaimana mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), serta isu-isu yang dihadapi berbagai wilayah. Keduanya dalam pertemuan bersama yang membahas Teknologi Keuangan (FinTech) pada Pertemuan Tahunan IMF-WBG 2018 di Bali.

World Bank Group menyelenggarakan acara yang membahas sumber daya manusia, pertumbuhan ekonomi yang inklusif, termasuk urbanisasi, perpajakan dan ketimpangan. Selain itu, diadakan juga acara-acara yang membahas bagaimana teknologi rekanan dapat memanfaatkan teknologi untuk pertumbuhan, bagaimana mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), serta isu-isu yang dihadapi berbagai wilayah, terutama di Asia dan Afrika, bagaimana kelaparan dapat diatasi, bagaimana membiayai pembangunan – memanfaatkan fasilitas pembiayaan global, system keuangan Syariah, pembiayaan yang ramah dan Agenda Ekonomi Digital.

Sistem Pembiayaan internasional dapat diperkuat dengan normalisasi kebijakan moneter di antara negara maju, mengatasi tantangan yang dihadapi negara-negara berkembang,
menyelesaikan reformasi tata kelola IMF yang sedang berjalan, dan memperkuat Global Financial Safety Net (GFSN) melalui Pengaturan Keuangan Wilayah.

Indonesia sebagai negara berkembang perlu mengembangkan cadangan kebijakan pertahanannya untuk merespon kebijakan yang dikeluarkan negara-negara maju, untuk mengurangi risiko ketimpangan perdagangan.