Waspada, Kemasan Sachet Penyumbang Sampah Plastik Terbesar di Indonesia

: Ilustrasi kemasan sachet menjadi sampah plastik terbesar di Indonesia yang mencemari lingkungan. Foto: Istimewa


Oleh Untung S, Kamis, 2 Mei 2024 | 15:56 WIB - Redaktur: Untung S - 340


Jakarta, InfoPublik - Sachet merupakan sampah plastik terbanyak yang mencemari lingkungan di Indonesia. Hasil brand audit jaringan masyarakat pegiat lingkungan menunjukkan ada lima produsen pencemar saset terbanyak di lingkungan.

Dalam keterangan tertulis yang diterima InfoPublik, Kamis (2/5/2024), brand audit itu dilakukan di 34 titik lokasi audit dengan sachet yang terkumpul sebanyak 9.698. Hasilnya, terdapat 5 produsen pencemar saset terbanyak, yaitu, Wings (1251 saset), Salim Group (672), Mayora Indah (629), Unilever (603), dan PT Santos Jaya Abadi (454).

Plastics Project Leader Greenpeace Indonesia, Ibar Akbar, mengatakan hingga saat ini tidak ada transparansi dan komitmen dari produsen-produsen tersebut untuk mengurangi produksi plastik saset mereka.  “Jika cara itu terus dilakukan oleh produsen, maka, krisis saset tidak akan berakhir,” ujarnya dalam keterangan tertulis.

Menurutnya, tanggung jawab produsen atas sampah dan secara khusus tentang saset tercantum dalam Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 75 tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.

Peraturan itu mewajibkan produsen salah satunya manufaktur untuk membuat peta jalan pengurangan sampah dari kemasannya sebesar 30 persen hingga 2029 mendatang. “Tapi, dari 10 produsen pencemar terbanyak di Indonesia, hanya Unilever dan Danone melalui PT Tirta Investama yang mengirimkan dokumen peta jalan pengurangan sampahnya,” tukasnya.

Koordinator Audit Merek Ecoton, Alaika Rahmatullah, menambahkan tingkat keresahan masyarakat terhadap sampah plastik khususnya kemasan sachet itu akan semakin mendalam dengan temuan audit merek itu.

“Apalagi ketika nama-nama produsen yang sama terus muncul kembali memperlihatkan sebuah paradoks yang menggelisahkan. Tidak hanya melihat jumlahnya, tetapi tentang bagaimana tanggung jawab produsen terhadap dampak lingkungan dari kegiatan bisnis mereka,” ucapnya.

Dia berharap temuan audit merek itu penting untuk dijadikan sebagai evaluasi untuk mempertimbangkan langkah-langkah produsen yang lebih bertanggung jawab ke depannya, terlebih tidak lagi menggunakan kemasan saset.

Koordinator Trash Hero Indonesia, Rima Putri Agustina, mengungkapkan  jaringan relawan mereka di Indonesia Timur, yaitu Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Ambon, juga menemukan saset sebagai penyampah plastik terbesar dalam kegiatan yang mereka lakukan.

Dia mengatakan daerah Timur Indonesia adalah geografi yang rentan terhadap pencemaran plastik karena terdiri dari banyak pulau kecil, dengan layanan pengumpulan sampah yang terbatas di beberapa daerah, terutama di daerah ibukota kabupaten saja.

Menurutnya, kasus Indonesia Timur adalah gambaran jelas bahwa persoalan yang ditimbulkan oleh saset tidak bisa diserahkan kepada pemerintah daerah dan konsumen saja, tapi harus sudah menjadi tanggung jawab produsen.

Peneliti di YPBB, Fictor Ferdinand, menyarankan agar selain pengurangan produksi kemasan sachet, perlu dibarengi langkah bertahap mendukung sistem guna ulang sebagai solusi mengatasi krisis sachet.

Menurut dia, langkah yang dilakukan bisnis guna ulang ini menjadi solusi nyata yang seharusnya dipilih oleh produsen alih-alih berfokus pada solusi semu. Saat ini terdapat regulasi yang mendukung sistem guna ulang yang tertuang pada peraturan BPOM Nomor 12 Tahun 2023 dan standar PR3 untuk menciptakan kerangka kerja bisnis guna ulang yang aman dan dapat diandalkan.

“Bisnis refill dan reuse yang dikembangkan masyarakat, adalah contoh bagaimana sistem yang sama dapat dikembangkan produsen. Tetapi bisnis refill masyarakat ini tidak bisa menyelesaikan persoalan sampah saset dari produsen besar, karena kondisi regulasi dan mekanisme perizinan di Indonesia tidak mendukung pengemasan ulang,” tuturnya.

Karenanya, dia berharap pemerintah perlu lebih tegas meregulasi para produsen, sekaligus pada saat yang sama, menciptakan kondisi yang kondusif agar bisnis refill masyarakat itu bisa berkembang. Di sisi lain, lanjutnya, para produsen perlu menjadi pionir untuk solusi yang sesungguhnya, yaitu refill dan reuse, tidak lagi menghasilkan sampah yang masih harus diolah oleh konsumennya.

Untuk Asia Tenggara sendiri, konsumsi sachet itu hampir mencapai separuh dari pangsa global dengan proyeksi mencapai angka 1,3 triliun saset terjual setiap tahunnya pada tahun 2027. Perjanjian plastik global yang sedang berlangsung proses negosiasinya antara negara anggota, menjadi satu-satunya peluang seumur hidup untuk mengatasi krisis plastik.

Maka, sangat penting untuk memiliki perjanjian plastik global yang kuat dan ambisius untuk mengurangi produksi plastik dan mendorong beralihnya bisnis plastik sekali pakai ke sistem guna ulang.

 Secara global, sachet terjual per tahun kurang lebih sebanyak 855 miliar. Kemasan saset menawarkan kenyamanan dan harga murah. Namun, sampah saset menjadi beban lingkungan karena karakter kemasannya yang fleksibel terdiri dari berbagai jenis plastik dan lapisan foil membuatnya sulit untuk dikelola dan didaur ulang oleh sistem pengelolaan sampah. Seringnya, saset berakhir di TPA dan mencemari badan-badan air seperti sungai, hingga pantai.

Brand audit itu merupakan hasil kerja sama jaringan masyarakat pegiat lingkungan yang terdiri dari Greenpeace Indonesia, Ecoton, Walhi, Trash Hero Indonesia, dan YPBB.