Mengenal Tradisi Toron Etnis Madura

:


Oleh Fajar Wahyu Hermawan, Sabtu, 26 Juni 2021 | 05:50 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 615


Jakarta, InfoPublik - Suasana iduladha di Madura tahun ini boleh jadi akan berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Tidak ada lagi warga Madura yang dirantau melakukan tradisi toron atau pulang kampung. Tingginya angka penyebaran COVID-19 merupakan salah satu penyebabnya. Apalagi Kabupaten Bangkalan sampai saat ini masih dinyatakan sebagai zona merah.

Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa juga sudah mengimbau, agar warga Madura, khususnya di Kabupaten Bangkalan, tak melakukan toron saat hari raya iduladha yang akan jatuh pada Selasa (20/7/2021).

Bagi orang Madura, iduladha merupakan momen yang ditunggu-tunggu. Jika etnis lain pulang kampung hanya terjadi pada saat idulfitri, namun bagi orang Madura tradisi pulang kampung juga dilakukan pada saat iduladha, Maulid Nabi, perkawinan.

Toron merupakan sebuah tradisi yang sudah ada sejak nenek moyang mereka. Tradisi toron tidak mengenal batas sosial apa pun. Mereka memandang,  setiap orang mempunyai ikatan primordial dengan kampung halaman tempat mereka dilahirkan.

Menurut budayawan Madura, Abrari Alzael, tradisi toron etnis Madura ada dua. Pertama, toron (turun ke bawah). Kedua, toron tana (turun ke tanah).

"Jadi mudik di Madura itu, tidak hanya idulfitri saja, tapi saat iduladha, Maulid Nabi, hajatan, famili Haji, kelahiran, kemudian ketika ada keluarga yang wafat maka orang Madura yang sedang merantau pasti pulang kampung," kata Abrari.

Bagi etnis Madura, toron merupakan suatu keharusan apabila bekalnya cukup dan dalam kondisi sehat. Selain bersilaturahmi, momen pulang kampung itu biasanya mereka juga melakukan nyekar atau nyalase (datang ke kuburan mendoakan para pendahulu).

Sosiolog Universitas Airlangga, Surabaya, Bagong Suyanto mengungkapkan, toron dimaknai perantau Madura sebagai cara mereka nyambung bheleh (menyambung kekeluargaan) kembali setelah dari perantauan. Toron memang seperti tuntutan sosial buat para perantau Madura agar tidak lupa kampung halaman.

Ketika iduladha, orang Madura memaknainya agar orang itu bersedekah. Makna inilah yang secara kultural mendorong masyarakat Madura merasa harus pulang.

“Momentum iduladha juga dimaknai orang Madura agar tidak lupa pada asal usulnya. Merefleksikan kekerabatan dan kohesi sosial masyarakat Madura,” katanya.

Saat silaturahmi atau nyambung bheleh biasanya mereka membawa terateran atau oleh-oleh yang ditujukan untuk tetangga, keluarga, dan ulama. Isi terateran ini juga beragam. Bisa nasi atau jajan.

Tradisi toron ini tak bisa dilepaskan dari onggha (naik). Onggha ini bermakna migrasi atau merantau. Mereka merantau biasanya untuk menaikkan taraf perekonomiannya di luar Madura. Tekad kuat untuk memperbaiki kondisi ekonomi itu menjadi tekad kuat mereka. Ini sekaligus menjadi motivasi mereka di rantau. Sehingga ketika kondisi perekonomiannya sudah membaik mereka punya semacam kewajiban untuk tidak melupakan tanah leluhurnya.

Adanya perbaikan kondisi perekonomian itu biasanya diekspresikan melalui cara mereka berpakaian. Baik suami/istri dan anak-anaknya. Selain itu, juga dari kendaraan yang
digunakan.

(Seorang ibu menggendong anaknya keluar dari mobil saat mengantre masuk ke Surabaya di akses keluar Jembatan Suramadu, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (6/6/2021). Petugas gabungan melakukan penyekatan di lokasi itu dan melakukan tes cepat antigen bagi warga dari Pulau Madura yang akan masuk ke Surabaya menyusul adanya peningkatan kasus COVID-19 di Madura. ANTARA FOTO/Didik Suhartono/wsj.)