BRIN Bahas Radiofarmasi Berbahan Alam Indonesia untuk Diagnostik dan Terapi

: Seminar Nasional bertajuk Radiofarmasi dari Isolat Bahan Alam yang diselenggarakan atas kerja sama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Politeknik Kesehatan Kemenkes (Poltekkes) Makassar, dan STFI secara hybrid di Makassar pada Selasa (30/4/2024)./ foto: BRIN


Oleh Mukhammad Maulana Fajri, Minggu, 5 Mei 2024 | 22:31 WIB - Redaktur: Untung S - 162


Jakarta, InfoPublik – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan terkait radiofarmasi dan isolat bahan alam dipercaya, dan diyakini oleh masyarakat sebagai bahan obat untuk diagnostik maupun terapi.

Hal itu diungkapkan Ketua Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia (STFI), Adang Firmansyah, dalam Seminar Nasional bertajuk Radiofarmasi dari Isolat Bahan Alam yang diselenggarakan atas kerja sama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Politeknik Kesehatan Kemenkes (Poltekkes) Makassar, dan STFI secara hybrid di Makassar pada Selasa (30/4/2024).

Adang menyampaikan bahwa isolat bahan alam merupakan senyawa yang diperoleh dari alam, atau diperoleh isolasi dari alam yang dulu dikenal dengan ekstrak atau fraksi. “Isolat senyawa murninya yang sudah bisa kita isolasi dalam skala produksi yang bisa dimanfaatkan menjadi bahan baku obat,” ujar Adang dikutip dari keterangan tertulis www.brin.go.id, Minggu (5/5/2024).

“Selain menjadi bahan baku obat langsung sebagai terapi, bisa juga dimanfaatkan oleh periset di radiofarmasi untuk dilabel menjadi radiofarmaka atau untuk diagnostik,” lanjut Adang.

Ia menguraikan, keunggulan isolat diantaranya bersumber dari tanaman asli Indonesia, terbukti secara empirik memiliki khasiat, volume bobot kecil, efek atau aktivitas dan khasiatnya seragam, dosis terukur, aplikasi luas dan bisa diaplikasikan di industri farmasi.

Data menunjukkan, 95 persen bahan baku obat nasional masih diimpor dari Tiongkok, India, Amerika Serikat, dan Eropa. Sehingga, pemerintah masih fokus pada bahan baku sintesis.

“Kebanyakan obat-obat di Indonesia adalah obat sintetis. Obat sintesis itu mempunyai bahan baku kimia dasar yang juga diimpor,” kata Adang.

“Sedangkan untuk obat bahan alam dalam hal ini isolat, bahan dasarnya tidak perlu diimpor. Contohnya mangosteen, bahan dasarnya manggis, manggisnya tidak perlu diimpor. Bahkan industrinya pun di Indonesia, isolasi dan manufakturnya pun di Indonesia,” ujarnya

Adang berharap semoga ia dapat membuat suatu ekosistem ekonomi dari mulai petani sampai ke hilir. “Kita ingin dengan isolat bahan alam ini menawarkan untuk kerja sama dengan Pusat Riset Teknologi Radioisotop, Radiofarmaka, dan Biodosimetri (PRTRRB) BRIN dan Poltekkes Makassar, dari kebun industri sampai ke ekstraksinya, dan menggunakan low technology,” kata Adang.

Adang menekankan, kolaborasi stakeholder sangat penting dan memiliki peran masing-masing dalam hilirisasi tanaman obat di Indonesia, dari akademisi, industri farmasi, pemerintah, dan BUMN/BUMD.

Peneliti PRTRRB BRIN, Isti Daruwati turut menjelaskan, radiofarmasi adalah bidang ilmu kefarmasian-mulai dari penyiapan, pembuatan sediaan, penyimpanan, pendistribusian, dan dispensing-yang memanfaatkan unsur atau atom radioaktif, digunakan baik untuk tujuan klinis diagnosis maupun terapi.

“Radiofarmasis adalah orang yang menangani obat radioaktif. Sedangkan radiofarmaka atau sediaan radiofarmasi adalah obat radioaktif yang digunakan untuk diagnosis atau terapi dalam jumlah kecil tanpa/minimum efek farmakologis,” ujar Isti.

“Sediaan radiofarmasi dapat digunakan secara oral atau injeksi, dan isolat dikasih tanda/tempelan radioaktif ini adalah reaksi kimia, akan menjadi senyawa bertanda,” tuturnya.

Ia juga memaparkan aplikasi radiofarmaka di kedokteran nuklir menggunakan sumber radiasi terbuka karena disuntikkan ke dalam tubuh pasien, dari disintegrasi inti radionuklida buatan untuk tujuan diagnostik.

“Obat yang ada radioisotop diinjeksikan ke dalam tubuh pasien, sumber radiasi ini merupakan sumber radiasi terbuka. Maka radioisotop tersebut akan mengeluarkan radiasinya, menggunakan yang berbasis gamma dengan bus besar, supaya bisa dideteksi oleh kamera gama berbasis single photon emission computed tomography (SPECT) dan berbasis positron emission tomography (PET),” papar Isti. 

“Hasil yang muncul gambarannya seperti ini, radioaktif ada di berbagai titik, warna-warna yang muncul di sini menunjukkan akumulasi dari senyawa yang kita injeksikan tersebut. Contohnya bone scan (tulang) berbasis posponat MDP metilen diposponat, EDTMP, dan pengembangan CTMP," katanya.

"Pada kondisi normal, tulang ini tidak akan terakumulasi banyak MDP, sedangkan kondisi pasien kanker prostat terlihat terakumulasi banyak MDP, yang artinya sudah menyebar,” urai Isti.

Ia mengatakan, peran radiofarmaka di rumah sakit Indonesia digunakan untuk layanan kedokteran nuklir, dan saat ini kamera yang paling banyak digunakan adalah SPECT.

“Rumah sakit yang menggunakan kamera ini antara lain di Manado, dan mudah-mudahan satu provinsi akan memiliki satu kamera SPECT,” katanya.

 

Berita Terkait Lainnya

  • Oleh Mukhammad Maulana Fajri
  • Sabtu, 18 Mei 2024 | 13:35 WIB
BRIN Perkuat Kolaborasi dengan Perguruan Tinggi Dukung Net Zero Emission
  • Oleh Mukhammad Maulana Fajri
  • Kamis, 16 Mei 2024 | 17:15 WIB
Keindahan Bimasakti dari Observatorium Nasional Timau
  • Oleh Mukhammad Maulana Fajri
  • Kamis, 16 Mei 2024 | 15:33 WIB
BRIN Kenalkan Teknik Analisis Nuklir untuk Cegah Pencemaran Lingkungan ke Mahasiswa
  • Oleh Mukhammad Maulana Fajri
  • Kamis, 16 Mei 2024 | 15:38 WIB
Pentingnya Pembangunan SDM untuk Indonesia Emas 2045
  • Oleh Mukhammad Maulana Fajri
  • Rabu, 15 Mei 2024 | 16:57 WIB
World Water Forum, Solusi Persoalan Air Global
  • Oleh Mukhammad Maulana Fajri
  • Rabu, 15 Mei 2024 | 15:35 WIB
Ada Strategi Meningkatkan Ketersediaan Pangan melalui Lahan Kering
  • Oleh Mukhammad Maulana Fajri
  • Rabu, 15 Mei 2024 | 14:28 WIB
NTT Diminta Manfaatkan Media Sosial untuk Pasarkan Produk Unggulan