Ekonom : Hadapi MEA Melalui Kompetensi

:


Oleh Prov. Riau, Rabu, 2 Maret 2016 | 16:17 WIB - Redaktur: Eka Yonavilbia - 423


Pekanbaru, InfoPublik  - Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang telah terlaksana untuk sejumlah negara di ASEAN bukanlah ancaman, melainkan peluang yang sesungguhnya menjadi keuntungan jika kompetensi terus ditingkatkan.

Demikian pernyataan tersebut disampaikan kata Ekonom, Dr Irvandi Gustari, Selasa, (1/3). "MEA pilarnya adalah pasar tunggal dan produksi, serta kawasan ekonomi bersaing, dan perkembangan ekonomi merata kemudian integrasi ekonomi global," kata Ekonom Dr Irvandi Gustari yang juga Direktur Utama Bank Riau Kepri (BRK), Selasa Siang.

Irvandi yang juga dosen pasca sarjana Universitas Riau mengatakan, saat menjadi salah satu pemateri, Seminar MEA yang dilaksanakan Tunas Indonesia Raya (TIdaR) Riau bertema; "Kesiapan Provinsi Riau dalam Menghadapi MEA 2016 di sebuah hotel di Pekanbaru.

Dalam seminar tersebut, panitia juga menghadirkan dua pembicara lainnya yakni Hans Hasibuan dari Otoritas Jasa Kaungan (OJK) Riau dan juga Ketua KNPI Riau, Ari Nugroho. Kegiatan ini sebelumnya dibuka oleh Kepala Kesbangpol Riau Ardi Basuki yang mewakili Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman.

Sementara, ratusan peserta yang hadir pada acara ini kebanyakan dari kalangan mahasiswa Universitas Lancang Kuning dan sejumlah perwakilan dari lembaga swadaya masyarakat se Riau. MEA, menurut dia, sebenarnya ada karena kebutuhan, bukan karena kesepakatan atau adanya agenda tertentu dan juga tekanan dari negara-negara yang memiliki kepentingan besar dengan Indoensia.

"Namun MEA ada, karena kebutuhan. ndonesia dihadapkan dengan dua kekuatan baru di dunia yaitu Negara Tiongkok dan India," katanya.Ternyata, lanjut Irvandi, India adalah negara yang besar. Bahkan jika digabungkan 10 negara di ASEAN, tidak akan mampu mengimbangi negara ini, apalagi Indonesia. Karena India memiliki jumlah penduduk yang mencapai 1,2 miliar.

Begitu juga dengan Tiongkok yang menurut Irvandi jauh lebih besar dengan jumlah penduduk mencapai 1,3 miliar. Bahkan jika dibandingkan dengan jumlah penduduk sepuluh negara ASEAN yang masih sekitar 588 juta. "Namun pasar yang paling besar di ASEAN adalah Indonesia," katanya.

Dirinya menjelaskan, banyak pihak berpandangan, negara-negara lainnya di ASEAN jauh lebih baik dibandingkan Indonesia, hal itu menurut dia salah. "Orang Vietnam belajar bahasa Indonesia, begitu juga dengan masyarakat Thailand, banyak belajar bahasa Indonesia yang artinya mereka melihat Indonesia adalah pasar. Dan bagaimana orang Indonesia tidak banyak yang ingin belajar bahasa Vietnam atau Thailand? karena dua negara itu sangat kecil sehingga bukan merupakan pasar yang baik,"jelasnya.

Masyarakat harus memandang MEA sebagai peluang, tentunya dengan kesiapan yang matang. "Peluang sebagai pasar yang justru akan meningkatkan gairah ekonomi," katanya.Dalam menghadapi MEA, menurut dia yang paling diperlukan adalah meningkatkan kompetensi. Namun bukan berarti orang Indonesia kalah dengan kompetensi masyarakat negara lainnya di ASEAN.

"Kalau saya melihat, untuk dunia perbankan, khususnya bank-bank papan atas, kita jauh di atas sejumlah bank yang ada di negara-negara ASEAN lainnya. Terkecuali bank-bank yang ada di level menengah ke bawah," kata dia.Nah apa itu kompetensi? menurut Irvandi, hal itu terbagi tiga yang mengacu kepada devinisi undang-undang pendidikan atau ketentuan dari sertifikasi profesi, yakni skills (kemampuan), knowledge (pengetahuan) dan attitude (sikap).

Dalam menghadapi MEA, ketiga hal tersebut tidak bisa dipisahkan atau dijalankan satu persatu. "Jika anda memiliki skills dan knowledge namun tidak memiliki attitude, maka artinya anda tidak memiliki sikap yang artinya juga tidak kompeten. Begitu juga jika Anda jika memiliki attitude dan knowledge namun tidak memiliki skills, juga tidak kompeten," katanya.

Ia mencontohkan, banyak orang memiliki gelar doktor, namun hanya memiliki skills dan knowledge, tetapi tidak memiliki sikap atau attitude juga bukan merupakan orang yang kompeten."Artinya, jika seseorang tersebut bergelar doktor sekalipun namun tidak memiliki attitude juga tidak dapat dikatakan sebagai orang yang kompeten," katanya.

Untuk bersaing dan menjadi kompeten, lanjut Irvandi, maka ketiga hal tersebut harus digabungkan dan dijalankan sehingga mampu untuk menjadi sukses. Salah satu contoh, demikian katanya, juga ada orang bergelar doktor yakni Dr Azhari, dia adalah teroris. Dengan demikian dia bukanlah orang yang kompeten.

"Karena, pekerjaannya adalah teroris, dia tidak punya attitude yang benar. Maka sekali lagi saya sampaikan, untuk kompeten dibutuhkan skills, knowledge dan attitude," katanya.  (MC Riau/hrd/eyv)